Bandung, Jurnalmedia.com – Ramadan, selain sebagai bulan yang penuh berkah juga banyak membawa warna-warni serta keunikan. Salah satunya tentu ragam kuliner serta kudapan.
Makanan yang masif diperjualbelikan adalah menu-menu takjil atau makanan pembuka untuk berbuka puasa. Di antara beraneka ragam jenis makanan baru yang bermunculan, makanan tradisional untuk berbuka menjadi sedikit terlupakan. Padahal rasanya tidak kalah nikmatnya dengan kudapan modern yang bermunculan akhir-akhir ini.
Berikut sejumlah kuliner tradisional yang masih menjadi favorit saat berbuka:
Gorengan
Gorengan adalah makanan atau camilan yang umum ditemukan di seluruh pelosok negeri. Kehadirannya pun mudah dijumpai di hari biasa. Banyak penjual yang menjajakannya di pinggir jalan dan Gorengan adalah menu Wajib yang selalu dicari saat berbuka oleh masyarakat Sunda.
Pada dasarnya nama gorengan berasal dari cara memasak kudapan tersebut yang dibuat dari bahan mentah dilumuri larutan tepung terigu berbumbu lalu digoreng dengan minyak panas. Jenis gorengan ada bermacam-macam, mulai dari tempe, gehu (tahu Isi), pisang, ubi, bala-bala (bakwan), comro (oncom dijero/adonan singkomg berisi oncom) dan masih banyak lagi.
Meski tergolong makanan umum, namun saat Ramadan tiba makanan ini berubah menjadi menu spesial baik untuk lauk berbuka hingga camilan setelah tarawih. Gorengan memang paling lezat disantap saat masih hangat dengan ditemani cabe rawit atau sambal korek ditemani segelas teh manis panas atau kopi panas.
Harga Gorengan per biji sangat murah yaitu berkisar Rp1000-Rp. 1500.
Kolak
Salah satu makanan pembuka puasa yang paling banyak dijumpai adalah kolak. Kolak merupakan makanan asli Indonesia berasal dari pulau Jawa yang menggunakan bahan dasar pisang ataupun ubi dengan campuran gula dan santan atau bahkan dicampur dengan makanan lain seperti bubur sumsum candil atau pacar Cina.
Makanan ini bisa terasa spesial jika dihidangkan saat puasa sebagai menu pembuka. Tak heran jika ada rasa kurang lengkap jika kolak tidak ada di deretan menu saat berbuka puasa.
Biasanya di bulan Ramadan kolak dan kelengkapannya dibadrol dengan harga Rp5.000-Rp7.000 per Cup.
Cincau
Warga Bandung tentu tidak asing dengan nama makanan ini. Cincau adalah makanan berupa agar-agar yang dibuat dari dedaunan. Bukan sembarang daun tapi daun dari spesies tanaman Mesona.
Cincau dibedakan menjadi dua yaitu cincau hijau dan hitam. Cincau hijau banyak dijumpai di berbagai daerah di Jawa Barat bahkan hingga Jawa Tengah.
Cincau hijau biasanya diberi kuah atau pemanis yang dibuat dari santan kelapa. Namun seiring perubahan zaman, kini kuah cincau dimodifikasi oleh es krim rasa vanilla atau susu.
Sedangkan cincau hitam memiliki tekstur yang lebih kenyal dan diberi kuah berwarna kuning keemasan yang dibuat dari air gula dan seiring perkembangan dimodifikasi jua dengan sirup atau bahkan kuah dari buah kalengan.
Pedagang cincau dengan varian berbeda biasanya menjualnya dengan harga Rp5.000-Rp10.000.
Cangkaleng (Kolang Kaling)
Makanan khas lain yang juga sangat identik dengan Ramadan yaitu kolang kaling. Makanan yang terbuat dari biji pohon aren ini memiliki rasa yang tawar dan kenyal dan rupa transparan.
Memang membutuhkan keahlian yang lebih untuk memilih kualitas kolang-kaling. Saat membelinya di pasar agar dianjurkan untukmemilih kolang kaling yang empuk dan tidak terlalu kenyal.
Agar menarik kolang kaling diberi pewarna. Meski rasa aslinya adalah tawar namun kolang kaling memiliki kandungan gizi yang lumayan tinggi, ada protein, karbohidrat dan serat kasar.
Saat bulan puasa kolang kaling akan diolah menjadi menu berbuka yang manis dan bervariasi. Karena rasanya yang tawar bila tidak diolah maka kolang kaling harus dicampurkan ke minuman segar, atau menjadi campuran kolak, Bajigur hingga es buah sebagai pelengkap. Bahkan bisa juga disantap hanya dengan berkuah sirup saja.
Penjaja takjil biasanya menjual kolang kaling seharga Rp5.000-Rp7.000 per sajian.
Awug
Awug adalah makanan khas Jawa Barat yang berbahan dasar tepung beras dengan campuran kelapa serta gula merah. Aroma daun pandan, dan gula merah pada Awug sangat mirip dengan bahan untuk membuat kue putu.
Jika kue putu dikukus dalam silinder bambu kecil, maka awug dikukus dalam wadah lancip yang biasa digunakan masyarakat pedesaan untuk mengukus nasi secara tradisional. Nantinya awug berbentuk seperti nasi tumpeng.
Proses pembuatannya yang ternyata cukup panjang membuat awug menjadi makanan tidak banyak dibuat secara rumahan oleh masyaralat perkotaan.
Saat membuat awug, beras direndam beberapa jam, kemudian digiling hingga halus menjadi tepung. Lalu dikukus setengah matang dan didiamkan beberapa menit. Setelah itu, dikukus kembali bersama gula merah dengan menggunakan kukusan atau aseupan.
Potongan gula merah dicampur sedemikian rupa sehingga berbentuk mozaik. Setelah matang, awug disajikan hangat dengan parutan kelapa. Harganya berkisar Rp3.000-Rp5.000 per porsi.
Nah, itu hanya sebagain menu takjil tradisional yang murah meriah di Kota Bandung. Masih banyak varian lain yang juga tak kalah lezat dan nikmat.
Jika menyantap makanan di atas, tak hanya enak tetapi juga bakal menjadi kenangan tersendiri di suatu saat nanti.
Tapi ingat, jangan lupa daratan. Berbuka dengan yang manis, kalau bisa minum air hangat agar pas tarawih tidak ngantuk.
Sehat selalu lancar puasanya ya Wargi Bandung. Mari kita raih kemenangan bersama saat Idul Fitri di Kota Bandung Juara yang Agamis.
Komentar