Jakarta. JurnalMedia.com – Bukan kali pertama pejabat negara harus berurusan dengan hukum terkait dengan suap maupun korupsi di negeri ini, baru-baru ini salah satu hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang merupakan benteng terakhir konstitusi yang tertangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dilansir detik.com, Presiden RI Joko Widodo menyesalkan kasus suap yang melibatkan hakim MK Patrialis Akbar. Namun Jokowi mengapresiasi penegakan hukum yang dilakukan KPK dengan menangkap tangan Patrialis.
“Ini bukan kali pertama, menjadi keprihatinan kita semua, termasuk Presiden Joko Widodo. Presiden prihatin sekali karena Mahkamah Konstitusi ini kan benteng terakhir konstitusi, yang berkaitan dengan hukum. Ini yang kedua kalinya,” kata juru bicara presiden, Johan Budi saat ditemui di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat (27/01/17).
Keprihatinan Presiden tersebut, lanjut Johan bertambah karena kasus ini terjadi di tengah upaya semua pihak untuk memberantas korupsi.
“Di tengah upaya semua pihak untuk memberantas korupsi, ternyata masih ada hakim yang tertangkap oleh KPK. Presiden prihatin, sangat prihatin,” kata mantan Jubir KPK ini.
Meski demikian, kata Johan, Presiden Jokowi mengapresiasi KPK yang konsisten dalam melakukan upaya penegakan hukum untuk memberantas korupsi.
“Presiden memberikan apresiasi kepada KPK yang secara konsisten dan terus menerus melakukan upaya-upaya penegakan hukum terkait pemberantasan korupsi,” sambungnya.
KPK menetapkan Patrialis Akbar sebagai tersangka karena menerima suap terkait permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Selain Patrialis, KPK juga menetapkan tiga orang tersangka lainnya yakni Kamaludin (perantara) dan pihak penyuap yakni Basuki Hariman, dan Ng Feni.
KPK mengamankan uang USD 20 ribu dan SGD 200 ribu dari tangan Patrialis. Selain itu, KPK menyita dokumen pembukuan perusahaan, catatan-catatan dan aspek lain yang relevan dengan perkara, voucher pembelian mata uang asing, dan draf putusan perkara nomor 129/PUU-XIII/2015 yang merupakan nomor perkara uji materi UU Nomor 41 Tahun 2014.
Tn/det
Komentar