Surabaya, Jurnalmedia.com – Tiga Gubernur diantaranya Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (Aher), Gubernur Jawa Timur Soekarwo (Pakde Karwo), dan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, me-launching, atau meluncurkan dua nama jalan. Jalan yang akan diluncurkan tersebut antara lain Jalan Siliwangi di Surabaya, diakomodir dari Jalan Gunungsari (sebagian), mulai dari pertigaan Jalan Gajah Mada sampai dengan pintu masuk tol Gunungsari.
Sedangkan Jalan Pasundan diakomodir dari sebagian Jalan Dinoyo yang dimulai dari perempatan Jalan Keputran (Jalan Keputran, Jalan Sulawesi, Jalan Dinoyo, Jalan Pandegiling) sampai pertigaan Jalan Majapahit (Jalan di depan Universitas Widya Mandala Surabaya).
Sebelumnya, DI Yogyakarta sudah terlebih dahulu memiliki nama jalan bernuansa Jawa Barat, yaitu Jalan Padjadjaran dan Jalan Siliwangi.
“Di Jawa Barat, rencananya akan hadir pula Jalan Majapahit, dan Jalan Hayam Wuruk yang akan ada di Kota Bandung, ” kata Aher di Hotel Bumi Surabaya, Selasa (06/03/2018).
Selain itu Gubernur Jawa Timur, Soekarwo menyebut upaya rekonsiliasi yang diupayakan, merupakan langkah berani yang juga layak ditempuh oleh semua elemen bangsa. Karena keberagaman keragaman merupakan sumber kekuatan bangsa Indonesia.
“Semoga inisiatif yang kita lakukan kemarin di Yogyakarta, sekarang di Jawa Timur, di Surabaya, dan kemudian akan dilakukan di Jawa Barat, membawa prospek masa depan sosial yang baik dalam nation character building atau pembangunan jiwa bangsa,” ungkap Pakde Karwo.
Pakde Karwo menyambungkan, bahwa penting bagi pemuda, mengetahui peristiwa sejarah Pasunda Bubat sebagai peristiwa budaya. Disamping menjaga keakraban budaya yang berkesinambungan, sebagai inspirasi untuk daerah lain.
“Kami masyarakat Jawa Timur berterima kasih atas kebesaran jiwa Kang Aher, juga Sri Sultan Hamengku Buwono dalam memfasilitasi pertemuan ini. Semoga jadi bagian penting, jadi hadiah penting bagi Kang Aher sebelum masa jabatannya habis,” Kelakar Dia.
Kang Aher, sebut Pakde Karwo, telah menempuh jalan yang luar biasa setelah 661 tahun sejarah Perang Bubat, kini sejarah tersebut diselesaikan dengan hati yang tulus. Juga Sultan Hamengku Buwono sebagai ‘pengadem’, atau penentram keadaan, yang juga sosok pemimpin yang juga pelindung budaya Jawa.
“Semoga semua selesai, dengan menghadirkan Jalan, ini bagian simbolik, terpenting hati kita kini bebas menerima, lelaki Jawa cinta perempuan Sunda atau sebaliknya, silahkan persunting,” ujarnya.
Sementara itu, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, mengatakan pentingnya mengetahui sejarah, sekaligus menghilangkan sekat- sekat kesalah fahaman yang telah terjadi di masa lalu.
“Karena setiap etnis yang ada, menjadi bagian bangsa Indonesia itu sendiri,” kata Sultan.
Rekonsiliasi antar budaya, antar etnik membutuhkan prasyarat utama, yakni memperbaiki hubungan antar manusia, yang sebelumnya mengalami ‘kecelakaan sejarah’. Maka harmoni budaya yang dilakukan Jawa Barat, DIY, dan Jawa Timur, menjadi wahana solusi jangka panjang untuk manangkis permasalahan tersebut.
Sri Sultan mengimbau, bangsa Indonesia supaya menafsir sejarah secara kritis. Kidung Sundayana dibuat di abad ke- 16, sementara perang bubat terjadi ke-14. Adapun seorang penulis Belanda pada abad ke-20, CC Berg, sejarawan Belanda, menerbitkan teks dan terjemahan Kidung Sunda pada tahun 1927 yang mengurai Peristiwa Bubat, yang bisa saja hal tersebut memiliki sangkut paut politik di dalamnya.
red/JM
Komentar